Seumur hidup saya berusaha menjadi pribadi yang stabil. Saya melihat stabilitas melalui kacamata saya yang minus ini sebagai suatu keadaan dimana manusia sudah bisa mengontrol keseimbangan dirinya sendiri, seperti rasa takut yang mengimbangi kenekatan, rasa malu yang mengimbangi kekurangajaran, rasa rendah diri yang mengimbangi kesombongan, ataupun rasa waspada yang mengimbangi kenaifan. Semua hal tersebut tidak ada yang bersifat mutlak baik atau buruk. Semuanya dibutuhkan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Dan ketika seseorang telah menemukan cara menempatkan semua energi positif dan negatif mereka pada tempatnya, saya menyebut mereka pribadi stabil.
Lihatlah, jika ada berita kemalangan yang menimpa mereka, mereka akan sejenak tertegun tapi kemudian menguasai diri mereka kembali, menelepon beberapa nomor, berbicara kepada orang-orang tertentu lalu meninggalkan pesta tempat mereka awalnya berada dengan muka sedikit menunduk menjaga fokus, sambil tersenyum pada orang-orang yang dilalui menuju pintu keluar.
Lihatlah, jika ada berita Idul Adha datang lebih cepat, jangan mengharap mereka akan berlompatan dan berteriak norak. A simple woo-hoo dan high-five sudah cukup. Bereaksi namun tidak berlebihan. Kurang lebih begitu maksud saya.
Saya tidak tahu apakah zodiak saya yang berlambang timbangan itu ada hubungannya dengan ini, yang jelas selama ini saya menjunjung tinggi keseimbangan. I dunno why, I just do.
Prinsip saya goyah ketika saya menonton salah satu episode Mario Teguh yang disiarkan di salah satu channel TV-berita lokal. Anda pasti familiar, cukup menekan angka 4 pada remote TV teman saya, maka channel yang dimaksud akan muncul.
Anyway..
Inilah kata-kata penggoyah iman tersebut.
"Orang-orang yang menginginkan stabilitas tidak pernah betul-betul berhasil"
And then I was like, "Excuse mehh?!"
And then he gave me this analogy:
"Pesawat tempur yang paling hebat adalah pesawat tempur yang aslinya tidak stabil, terlalu labil untuk dikontrol oleh manusia, sampai harus menggunakan komputer, sehingga dia berbelok kapan pun, berbalik, dan kembali dalam dockfight kapan pun.
"Pribadi yang tidak stabil mempunyai kecenderungan berhasil yang lebih besar, karena tidak malu dia berubah pendapat, tidak malu dia mengganti rencana, dan tidak jengah dia melakukan sesuatu yang baru. Banggalah dengan instabilitas."
And then I was like, "Humm.. but still.. you know.."
Lalu Mario Teguh kembali menjawab pertanyaan audiens yang lain. Dia tak mendengar saya karena saya hanya menonton dari layar televisi dan percakapan sebelumnya tidak benar-benar terjadi secara dua arah. Saya hanya membayangkannya.
Lalu apa hebatnya menjadi pribadi yang stabil? Saya teringat teman baik sewaktu SMA pernah mengatakan kalau emosi saya ini terlalu stabil, overstabil sampai-sampai terlihat tidak seimbang. Dia yang seharusnya menjadi orang yang paling bisa 'membaca' saya pun kewalahan dengan bawaan saya itu. Kasihan juga dia.
Lalu apa hebatnya? Entahlah...
Di satu sisi, saya meyakini stabilitas itu lebih baik daripada instabilitas.
Di sisi lain, saya tidak bisa menyangkal kata-kata Mbah Marijo Teguh itu. Ada orang-orang yang melakukan hal-hal berguna, biasa-biasa saja, dan hidup bahagia. Tidak pernah mencapai mimpi-mimpi terliarnya, namun juga tidak pernah jatuh bangkrut sampai harus menggadaikan pakaian dalam.
Namun ada orang-orang yang mengambil resiko, gagal, beralih ke hal lain apapun yang menarik minatnya sampai akhirnya menemukan hal terbesar yang memang diinginkannya. Dan ketika waktunya tiba, dia telah meninggalkan bekas di hidup banyak orang. This kind of people fly high, but when they fall, they fall hard. But then, they could fly again, higher..
Believe me, jika Anda mulai bertanya-tanya setelah membaca tulisan ini, maka saya juga demikian. Apakah kita hanya akan menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja? Or live in instability, with possibilities of reaching the highest peak and drowning to the lowest point? Karena tak akan ada zenith jika tanpa nadir, bukan.. Dan hidup hanya sekali.. So, if we can live it to the fullest, I suppose.. that would be cool.