Kalian semua pasti sudah tahu saya menggemari F1.. Apa? Wah, sayang sekali. Baiklah akan saya ceritakan awal perkenalan saya dengan Formula 1 ini.
Waktu itu 1998, kalau tidak salah. Waktu itu hujan rintik-rintik, angin melebat, ombak berdeburan, angin melebat... angin melebat apa sih maksudnya??? Tauk. Waktu itu saya baru gede, masih belum boleh begadang malam-malam, sungguh ironis, padahal kalau siang bukan begadang namanya. Malam itu saya bertahan di depan TV untuk menonton mobil-mobil berbentuk lucu warna-warni dengan tulisan besar-besar di body-nya. Saya terpana melihat overall pembalap dengan banyak logo sponsor tercetak di atasnya: Marlboro, West, Shell, Acer, MildSeven, Yahoo, Mobil, Lucky Strike, dlsb. Di mobil berwarna merah ada gambar kuda hitam, di mobil hitam ada lambang Merced*ez (gak niat menyensor,hha), dan helm-helm mengkilap yang tampaknya mahal sekali, dan gadis-gadis ojeg payung yang kekurangan bahan sandang. Kasihan benar. Padahal mereka cantik-cantik. Pertarungan saat itu dirajai oleh 2 mobil tersebut, dengan mobil berlambang kuda hitam sebagai unggulan, dan mobil berwarna hitam sebagai kuda hitamnya!
Saya biasanya akan mendapat teguran dari yang berkuasa di rumah kalau kedapatan menonton TV tengah malam. Tapi malam itu tidak. Ayah, yang waktu itu kebetulan turun untuk mengecek anak-anak, mendapati saya sedang serius nonton, lalu saya kaget, lalu dengan satu gerakan cepat, beliau sudah ada di samping saya sambil ngemil kacang. Kurang lebih begitu. Intinya beliau tidak melarang bahkan menemani saya nonton sampai ketiduran (sayanya yang ketiduran).
Sejak saat itu saya intens mengoleksi segala sesuatunya tentang F1, berita di koran, gambar di majalah, buku tulis dengan sampul Ferrari, geretan mildseven555, artikel tentang teknologi sasis mobil, apa saja walaupun saya tidak mengerti untuk apa. Belakangan saya juga mengoleksi videoklip F1 dari Youtube. Di sekolah saya jadi orang yang
merasa paling mengerti tentang olahraga ini, tentang mengapa sumbu rangka mobil F1 bersilangan membentuk X, tentang perbedaan suspensi V-terbalik, suspensi tunggal dan ganda pada sayap depan, tentang fakta bahwa sebuah mobil tidak bisa cepat di lintasan lurus dan di tikungan sekaligus, tentang mengapa pembalap hebat memiliki helm berwarna mencolok, bahwa pembalap Finlandia memiliki darah khusus pembalap di pembuluhnya (adalah orang Jerman yang akhirnya mematahkan-matahkan teori saya dengan menjadi juara dunia 7 kali), hingga semua nama pembalap, nama tim, dan bos timnya saya hafal. Jika saja dalam kurikulum muatan lokal di sekolah kami ada pelajaran "Pendidikan F1 Dasar", saya yakin akan lulus dengan nilai 'sangat memuaskan dengan pujian dari teman-teman perempuan dan adik kelas'.
Sihir sirkus ini telah mengenai saya, dan seperti putri-putri kena sihir yang ingin balas dendam menyihir balik sang penyihir, saya pun ingin mencoba tahu rasanya mengendarai mobil F1. Tapi ini bukanlah balapan yang mudah dijangkau seperti halnya balapan motor bebek tune-up. Ini adalah F1, yang mewah, yang eksklusif itu. Jadi, saya mulai membeli game komputer F1 1997. Tak perlu waktu lama untuk menguasainya. Bukannya sombong, tapi gamenya memang jelek, AI-nya disenggol sedikit langsung jedarjeder tabrakan beterbangan berputar-putar. Sungguh lebay. Lalu saya membeli game F1 2002. Yang ini lumayan, saya masih memainkannya sampai sekarang, tingkat kesulitan bisa diatur, konsumsi bahan bakar, rasio gigi, keseimbangan rem depan-belakang juga bisa disetting sesuka hati. Sebagai pelengkap, saya punya kursi buntelan yang bisa saya bentuk agar seolah-olah saya sedang berada di dalam kokpit. Ini bodoh sekali.
Nearest-F1-experience yang pernah terjadi sama saya adalah saat tim Honda melakukan roadshow ke berbagai kota di Indonesia dengan trailer raksasa yang didalamnya mengangkut mobil balap F1 untuk dipamerkan. Entah saat itu mereka tersesat atau apa, tapi truk besar itu ada di kota kami, Jatinangor! Jeng jeng jeng! Sungguh mirip dengan aslinya: cat mobil, setir, kursi, bahkan ada ojeg payung lokal yang tak kalah cantik. Saya pun meminta ijin berfoto di samping mobil itu. Bangga sekali rasanya. Sayang mobil itu dipagar dan dijaga ketat, kalau tidak saya sudah menyusup ke dalam kokpitnya dan ngebut masuk ke jalan tol dan finish di Bandara Soekarno-Hatta disambut pramugari dan polisi bandara. Lalu mereka akan menghukum saya atas kebodohan saya karena mengendarai mobil display yang tidak bermesin. Antar kota pula.
Sekarang, setelah bertahun-tahun kemudian, saya menjadi tidak terlalu tergila-gila dengan semua ini. Sihir mulai memudar, dan seperti putri-putri (hablahablah..) saya mulai teralihkan dengan hal-hal lain yang lebih realistis. Banyak hal lain. Tapi, sebenarnya, jauh dalam hati kecil dan jiwa yang masih seperti anak kecil, saya masih membayangkan Oom Bernie Eclestone atau salah seorang orang dalam industri F1 membaca tulisan ini dan terenyuh membaca kisah saya dan mengusahakan agar saya bisa memiliki mobil F1 sendiri, yang bekas pun tak apa, asal bisa dipakai mejeng. Biar nanti saya bisa mengharumkan nama bangsa sebagai orang Indonesia pertama yang punya tim F1 merangkap direktur teknis, pembalap, mekanik, dan tukang cuci mobil.